Jumat, 24 Juni 2011

Belasan Anak Putus Sekolah Akibat Terjepit soal Ekonomi

MARUNDA- Masalah himpitan ekonomi berdampak anak terpaksa harus tidak lagi merasakan bangku pendidikan. Hal inilah yang dialami anak-anak dipesisir pantai Marunda, Cilincing Jakarta Utara.Padahal Pemda DKI Jakarta sudah menjelaskan bahwa warga Jakarta wajib sekolah 9 tahun. Terlebih penerimaan sistem online beberapa hari lalu membuat anak-anak di kawasan itu tak bisa mendapatkan kursi di bangku SD lantaran ketidaktahuan para orangtua murid dalam penggunaan internet.


Ani 47, warga RT 6/7 Marunda terpaksa tidak mampu lagi menyekolahkan anaknya lantaran tak punya biaya kebutuhan untuk pendidikan anaknya. Kini Dewi 13, hanya bisa sekolah sampai di kelas lima saja. "Habis mau gimana lagi mas! penghasilan pas-pasan, biaya kebutuhan sekolah seperti perlengkapan dan uang buku harus membayar. Sementara untuk makan saja kembang kempis" keluhnya.

Ani yang kesehariannya hanya pedagang makanan dan minuman di pantai Marunda dan suaminya Mursal 48 pengemudi ojek motor ini hanya bisa pasrah dan berharap agar ada solusi dari pemerintah. Hal senada disampaikan Minah 40, warga RT 7/7 Marunda lainnya. Dirinya tak mampu lagi untuk bisa menyekolahkan anaknya Kristina 12 tahun yang baru tamat SD tahun ini. Ibu beranak tiga ini pesimis karena melihat NEM anaknya hanya 16.20. besar kemungkinan tidak mendapatkan sekolah negeri.

"Kalau nanti bisa diterima sekolah negeri dipikirkan lagi, tapi kalau tidak yaa engga usah sekolah, lebih baik cari bekerja" ujar Minah. Menurut Minah, banyak anak-anak di kawasan pesisir pantai Marunda yang hanya sekolah sampai duduk dibangku kelas 6 atau putus ditengah jalan. Dan mereka lebih memilih bekerja sebagai tukang cuci piring di sekolah STIP.

"Banyak sih pak! anak-anak disini putus sekolah, untuk mengisi kekosongan waktu mereka kerja sebagai tukang cuci piring" tuturnya.Baik Ani maupun Minah, mewakili wali murid yang nasibnya sama di pesisir laut merupakan potret pendidikan di DKI Jakarta yang meski di perhatikan dan pemerintah harus turun tangan.

Fhilis Sudianto, Pemerhati sosial dan Pendidikan Jakarta Utara menjelaskan, kurangnya pengawasan dan kontrol pihak instansi kepada sekolah-sekolah  seperti masih adanya pungutan membuat banyak anak-anak di pesisir putus sekolah lantaran kesulitan ekonomi orangtua murid.

Begitupun dengan sistem online penerimaan siswa baru tingkat SD. Filis Sudianto menambahkan, ada dampak positif dan negatif pendaftaraan sistem online. Sayangnya sistem ini belum sepenuhnya menjamah masyarakat kelas bawah, akibatnya banyak orangtua yang Gagtek (Gagal Teknologi) tentang PSB Online. "Meskinya disiapkan dahulu, dari mulai sosialisasinya, tata caranya, petugas disekolah sampai pada persiapan persyaratannya seperti KK dan Akte lahir apakah sudah semua warga memilikinya" tuturnya. Terbukti justru banyak siswa-siswa yang diterima yang lokasi rumah tinggalnya jauh dari sekolah, sementara yang dekat justru tak dapat tempat.

Ditambahkan Filis Sudianto kalau sistem online tingkat SMP atau SMA tidak masalah. Pasalnya siswa yang datang ke sekolah untuk daftar dan penerimaan online melalui nilai hasil ujian. Kalau tingkat SD sudah pasti si orangtua murid yang datang langsung untuk daftarkan anaknya" .Banyak warga di Jakarta Utara engga ngerti apa itu online, seperti warga Kalibaru, Marunda atau pesisir laut.Jangankan mikir internet, mikirin dapur rumah dan jaring saja sudah bingung" ujarnya.  (Bian)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar